Senin, 19 Agustus 2013

Di Luar Tapalku

Pemuda itu menyadari betapa "dia" benar-benar berada dilangit ketujuh dan dirinya masih tetap berada di dasar sumur bor. Namun kali ini ada yang berbeda, sedikit lebih baik dari sebelumnya sebagai seorang laki-laki, kali ini dia sedikit lebih banyak menggunakan rasio-nya dan menafikan rasa. Meski dia sendiri ragu akan adanya dimensi untuk rasio dan rasa-nya, atau ada tapal antara rasio dan rasa itu, tapi apakah tapal itu benar-benar ada? kalaupun ada, dimanakah tapal itu? bagaimanakah menemukan tapal itu? dan untuk apakah tapal itu? pertanyaan-pertanyaan filosofisnya pun mulai muncul, yang tanpa ia sadari membawanya masuk semakin dalam ke ruang-ruang khayal yang ia-pun tak tahu dalamnya. Dengan keyakinan bahwa dengan rasio yang lebih banyak berperan saat ini, dalam "orkestra" permainan sandiwara imajinasinya akan membawanya ke titik dimana ada sedikit harapan, ada sedikit cahaya yang menuntunnya keluar dari dunia khayal yang memuakkan itu, yang secara sadar ia-pun enggan untuk berada didalamnya. Namun, di luar kesadarannya, di luar batas-batas yang bisa ia sadari, tanpa ia sadari ternyata itu semua malah membawanya semakin larut dalam dunia yang memuakkan itu, semakin jauh pertanyaan-pertanyaan filosofisnya terus berdatangan bak hujan sore yang terus mengguyur, melarutkan dalam suasana damai yang semu. Ya, semua itu semu, semua itu palsu.