Senin, 19 Agustus 2013

Di Luar Tapalku

Pemuda itu menyadari betapa "dia" benar-benar berada dilangit ketujuh dan dirinya masih tetap berada di dasar sumur bor. Namun kali ini ada yang berbeda, sedikit lebih baik dari sebelumnya sebagai seorang laki-laki, kali ini dia sedikit lebih banyak menggunakan rasio-nya dan menafikan rasa. Meski dia sendiri ragu akan adanya dimensi untuk rasio dan rasa-nya, atau ada tapal antara rasio dan rasa itu, tapi apakah tapal itu benar-benar ada? kalaupun ada, dimanakah tapal itu? bagaimanakah menemukan tapal itu? dan untuk apakah tapal itu? pertanyaan-pertanyaan filosofisnya pun mulai muncul, yang tanpa ia sadari membawanya masuk semakin dalam ke ruang-ruang khayal yang ia-pun tak tahu dalamnya. Dengan keyakinan bahwa dengan rasio yang lebih banyak berperan saat ini, dalam "orkestra" permainan sandiwara imajinasinya akan membawanya ke titik dimana ada sedikit harapan, ada sedikit cahaya yang menuntunnya keluar dari dunia khayal yang memuakkan itu, yang secara sadar ia-pun enggan untuk berada didalamnya. Namun, di luar kesadarannya, di luar batas-batas yang bisa ia sadari, tanpa ia sadari ternyata itu semua malah membawanya semakin larut dalam dunia yang memuakkan itu, semakin jauh pertanyaan-pertanyaan filosofisnya terus berdatangan bak hujan sore yang terus mengguyur, melarutkan dalam suasana damai yang semu. Ya, semua itu semu, semua itu palsu.

Kamis, 14 Februari 2013

Tentang Cinta


Hari ini ku melihat terlalu banyak manusia yang bercerita tentang cinta, mendeskripsikan cinta menurut pandangan subjektif mereka entah dengan atau tanpa maksud tertentu. Tidak ada yang benar, tidak ada yang salah, yang ada adalah orang-orang yang sepakat dengan pendefinisian cinta jika itu sesuai dengan pengalaman mereka, jika itu sesuai dengan apa yang mereka inginkan padahal sejauh yang saya ketahui cinta itu terlepas dari tendensi apapun terlepas dari semua karena-karena yang mungkin ada. Dalam pahaman saya, dalam dunia idea saya mengatakan cinta mendatangkan sesuatu yang sangat luar biasa, sangat sensasional (saya tidak mendapatkan kata yang tepat untuk menggambarkannya) bagi orang yang memilikinya, dan cinta seperti itu hanya didapatkan ketika mencintai  Sang Pemilik Cinta.
Namun ada sesuatu yang mengganjal dalam dunia idea saya itu, di tengah-tengah manusia yang begitu ramai meneriakkan tentang cinta mengapa masih terjadi yang namanya kekerasan? Mengapa masih ada yang namanya tawuran? Hati ini tidak tergerak untuk membersihkan lingkungan sekitar, hati ini masih belum tergerak untuk menolong saudara kita yang mungkin hari ini bahkan untuk memasukkan sesuatu ke dalam perutnya mesti bertaruh dengan nyawanya? Dimana nilai-nilai cinta itu? Pantaskah kita hari ini kemudian berbicara banyak tentang cinta, padahal ada tetangga yang menangani rasa laparnya dengan tidur? Pantaskah kita berbicara tentang cinta sementara ribuan hingga jutaan anak-anak bangsa ini belum mengenyam pendidikan? Mohon jawab pertanyaan saya, dimana nilai-nilai cinta itu?!
Ketika saudara kandung kita dipukuli orang lain, sontak kita marah dan ingin membalas perbuatan itu. Tapi apakah hal demikian kita lakukan terhadap orang-orang yang menjajah saudara kita di negeri Palestina sana? Ataukah memang yang kita anggap sebagai saudara hanyalah saudara karena suatu ikatan darah, suku, asal daerah dan sebagainya? Atau mungkin cinta yang selama ini kita pahami adalah cinta yang egois, entahlah apa namanya, masing-masing dari kita memiliki jawabannya.

Minggu, 03 Februari 2013

Masalah Matematika

Pada tulisan saya kali ini sedikit akan membicarakan tentang masalah matematika. Sebelum itu kita akan memberikan batasan terhadap definisi yang akan kita gunakan dalam pembahasan kali ini, tujuannya agar terdapat kesepahaman terhadap istilah-istilah yang akan kita gunakan. Menurut Jujun Suriasumantri masalah titik tolak dari seluruh kegiatan keilmuan yang akan dilakukan, menurut Agung Wijaya masalah merupakan suatu keadaan yang tidak seimbang antara harapan/keinginan dengan kenyataan yang ada. Dalam pembahasan kali ini kita hanya akan membatasi masalah pada pengertian kesenjangan antara apa yang seharusnya terjadi (kondisi ideal) dengan apa yang terjadi (kondisi nyata).
Matematika dapat kita pahami sebagai suatu ilmu dan matematika dalam pendidikan atau sekolah. Matematika sebagai ilmu dapat di pahami sebagai suatu disiplin ilmu yang memiliki sifat tertentu, seperti: pola berpikir Deduktif-Aksiomatis, memiliki objek kajian yang abstrak, taat pada semesta pembicaraan dan yang lainnya. Sedangkan matematika dalam pendidikan biasanya di format dalam bentuk sedemikian sehingga siswa mampu memahami matematika lebih sederhana, seperti: pola berpikir yang cenderung Induktif-Empiris yang artinya siswa di berikan beberapa contoh yang menghasilkan bentuk umum dari persamaan tertentu, objek kajiannya diupayakan ada di dunia real dengan menghadirkan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari, dan sebagainya.
Masalah matematika yang kita maksud di sini adalah masalah matematika dalam pendidikan. Secara sederhana masalah matematika bisa di artikan sebagai sesuatu yang dalam matematika siswa mampu selesaikan namun pada kenyataannya siswa tersebut tidak mampu menyelesaikannya. Sebagai contoh: siswa kelas VII yang mendapat pertanyaan mengenai perkalian bilangan bersusun, kondisi idealnya adalah siswa mampu menyelesaikan itu. Namun jika pada kenyataannya siswa tidak mampu menyelesaikannya, maka itulah yang di sebut masalah matematika. Sedangkan “integral” pada siswa Sekolah Dasar bukan merupakan masalah matematika, karena kondisi ideal siswa Sekolah Dasar memang tidak mampu menyelesaikan soal integral. 

Jumat, 18 Januari 2013

Untukmu, Tulang Rusukku


Pemuda itu terdiam di sana, menatap langit-langit kamar kecilnya, khayalnya menenmbus atap yang menua itu, mencoba melayangkan imajinasinya jauh menembus ruang dan waktu, menembus batas-batas rasional berpikir yang ia bangun selama ini. Sebagian dirinya berimajinasi terlau jauh, membayangkan dirinya melewati hari-hari yang indah bersama bagian dirinya yang hilang, bersama tulang rusuknya. Imajinasinya semakin menggila, semakin liar, semakin jauh menembus batas-batas rasionalnya, pemuda itu memimpikan sedang berkeliling dunia dengan tulang rusuknya, memandang dengan penuh kasih sayang setiap inci dari tubuhnya, memegang dengan lembut wajah yang selalu bersinar itu dengan senyuman khas di bibir merahnya, suaranya yang merdu yang mapu meneduhkan segala kegelisahan hati pemuda itu.
Di tengah imajinasi yang semakin liar seiring dentuman jarum detik yang berputar, khayalnya tiba-tiba di haling oleh tembok yang sangat kuat yang tak mampu di tembus khayalnya, imajinasinya seolah di jatuhkan dari tempat yang sangat tinggi oleh kesadaran rasionalitasnya. Sebagian dirinya yang lain sadar bahwa apa yang ia khayalkan mustahil untuk terjadi, perbedaan mereka terlampau jauh, bagaikan langit ketujuh dengan dasar sumur bor. Tulang rusuknya terlalu ideal, terlalu baik, terlalu sempurna untuk dirinya. Wanita yang memiliki perangai yang baik, tutur kata yang lembut, jiwa yang teduh, hati yang mendamaikan, paras yang elok, senyum yang memancarkan sinar kebahagiaan di ujung bibir merahnya, berasal dari keluarga terpandang lagi kaya. Sementara pemuda itu berasal dari keluarga yang sangat sederhana, satu-satunya kelebihan yang ia miliki adalah terlalu banyak kekurangan, pikirnya mengecilkan diri. Pemuda itu masih di sana, di kamar kecil dengan atap yang sudah menua di temani oleh pikiran rasional dan imajinasinya yang liar. Entah sampai kapan peperangan itu akan berakhir, ia pun tak tahu, bahkan siapapun yang menjadi pemenang diantara keduanya tidak akan merubah kenyataan bahwa tulang rusuknya memang telah ada di langit ketujuh sementara dirinya tetap berada di dasar sumur bor.

Penarikan Kesimpulan

Kali ini saya akan coba menulis sedikit tentang salah satu materi dalam pelajaran matematika yang cukup menarik, Logika tepatnya penarikan kesimpulan dalam logika matematika. Seperti yang di ajarkan di bangku Sekolah Menengah bahwa penarikan kesimpulan dalam matematika itu ada tiga, yaitu: Modus Ponens, Modus Tollens, dan Silogisme.
Sebelum melangkah terlalu jauh mengenai masalah itu saya akan menjelaskan tentang cara berpikir matematis dan bagaimana “orang” matematika berpikir itu. Matematika merupakan cabang ilmu yang menggunakan pola berpikir Deduktif-Aksiomatis, artinya berangkat dari hal yang umum ke hal yang khusus, di mulai dari definisi, aksioma, proposisi, lemma, sampai pada teorema. Kebanaran matematika di bangun di atas itu semua. Matematika juga mengajarkan kita berpikir sistematis, konsisten, kreatif, dan satu aturan yang sangat penting  adalah taat semesta pembicaraan.
Kembali ke penarikan kesimpulan, Modus Ponens mengatakan “P1: P=>Q, P2:P maka kesimpulannya Q”. Modus ponens mengatakan jika ada suatu premis katakan P1: jika P maka Q, dan P2: P maka kesimpulannya adalah Q. Contoh P1: Jika harga barang pokok naik maka harga bahan bakar minyak juga naik. P2: Harga barang pokok naik. Maka kesimpulan yang bisa di tarik adalah Harga bahan bakar minyak naik. Nah sekarang ada premis P1: Jika harga barang pokok naik maka harga bahan bakar minyak juga naik. P2: Harga barang pokok tidak naik. Apa kesimpulannya? Sebagian orang mengatakan “harga bahan bakar minyak juga tidak naik”, maka ini adalah contoh penarikan kesimpulan yang salah. Mengapa? Karena yang di syaratkan pada premis pertama adalah jika P terjadi, bukannya jika P tidak terjadi. Kita juga tidak bisa mengatakan ketika harga barang pokok tidak naik maka harga bahan bakar minyak juga naik, karena yang menyebabkan naiknya harga bahan bakar minyak bukan hanya harga bahan barang pokok. Begitu juga untuk modus tollens dan silogisme, yang terpenting adalah perhatikan syarat dari premis itu.
Hal yang tak kalah penting dalam logika matematika yang perlu kita tahu adalah bahwa kebanaran matematika tidak memerhatikan kondisi realitas. Contoh dalam penarikan kesimpulan silogisme, P1: “Jika saya lapar maka saya makan.” P2: “Jika saya makan maka saya kenyang.” Kesimpulannya adalah “Jika saya lapar maka saya kenyang.” Loh? Kok bisa, memang seperti itulah matematika dan masih banyak contoh lain yang seperti itu. Seperti kata Sudjiwo Tedjo “belajar matematika itu indah, keindahan matemtika itu dingin tapi indah.”

Kamis, 17 Januari 2013

Lelaki Berhati Lemah

Sebut dia Baicul (Baikul, Red) nama panggilannya sewaktu masih kecil. Baicul adalah salah satu tokoh kartun di era 90-an yang ia kagumi sehingga kakak lelakinya memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Nama sebenarnya adalah Adi, Ardiansyah Arsyad tepatnya. Dia tumbuh di keluarga yang sangat sederhana, dia tumbuh dengan penuh kelembutan dan kasih sayang kedua orang tuanya, maklum dia adalah anak bungsu dari 4 bersaudara, tak jarang ia sangat di manjakan.
Hari ini Adi bukan lagi seorang anak yang selalu minta dukungan ke ayahnya saat ada masalah dengan kakak lelakinya, ia tumbuh menjadi pemuda yang cukup berani meski tumbuh dalam suasana yang bahkan tidak pernah mendapatkan suara yang keras dari kedua orang tua atau dari keluarganya yang lain. Mungkin hal ini juga yang membuatnya menjadi lelaki yang memiliki hati yang lemah.
Dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ia miliki, saat ini Adi merupakan salah seorang pemimpin di sebuah Lembaga Kemahasiswaan tempat ia melanjutkan kuliahnya. Tentu itu bukan sesuatu yang mudah terlalu banyak masalah yang harus ia hadapi, terlalu banyak variabel yang mesti ia perhitungkan, terlalu banyak hati yang ia harus jaga perasaannya, terlalu banyak kepentingan yang mesti ia akomodir, dan di tengah semua keharusan itu ia di tuntut lebih berbesar hati, bersikap lebih dewasa layaknya seorang tua, mengikis rasa ego yang seringkali datang merasuki ruang-ruang di hatinya, yang semuanya itu tidak pernah ia lakukan sewaktu kecil. Kadang ia berpikir, mungkin ini adalah tempat dimana ia bisa belajar menjadi manusia yang lebih baik, menjadi manusia yang bermanfaat bagi saudaranya, seperti yang di ajarkan kepadanya selama ini.
Suatu ketika salah seorang yang dia anggap sebagai adik sendiri datang kepadanya dan berkata "ka', sebelumnya saya meminta maaf dan jangan marah terhadap saya setelah apa yang akan saya ucapkan ini, yang saya minta hanyalah pengertian kaka' tentang apa yang saya pikirkan saat ini, dan kaka' harus janji tidak akan marah!" dengan sedikit memaksa untuk tetap tenang Adi mengatakan "Apa itu de'? insya Allah tidak akan" sambil tetap mencoba untuk menenangkan diri. Sang junior mencoba menjelaskan dengan sangat hati-hati perihal apa yang ia pikirkan, dengan pemilihan kata yang menurutnya sebaik mungkin dengan harapan sang senior tidak marah dengan kondisi ini. Hingga pada akhir kalimatnya dia mengatakan "Sekali lagi saya minta maaf ka', saya pun bingung dengan kondisi ini". Adi terdiam sejenak, mencoba menerjemahkan setiap kata yang adiknya katakan, mencoba memahami maksud sebenarnya dari apa yang ia dengarkan, Adi terlalu takut salah menerjemahkan maksud yang adiknya sampaikan. Hanya pergolakan yang terjadi dalam kepalanya, apakah ia harus mengikhlaskan juniornya pergi atau tetap mempertahankannya.
Sebagian dari dirinya mengharapkan untuk sang adik tetap di sini, berhubung suatu event besar akan segera mereka laksanakan dan sang adik merupakan salah satu faktor utama demi suksesnya kegiatan ini, terlalu banyak ketakutan, kekhawatiran yang Adi pikirkan kalau saja sang adik ini pergi..
Sebagian dirinya yang lain merasa senang, senang di karenakan sang Adik mampu meraih prestasi yang begitu luar biasa, prestasi yang tidak di dapatkan oleh sembarang orang, prestasi yang hanya di dapatkan oleh mereka yang benar-benar berjuang, benar-benar bersungguh-sungguh.
Sementara sebagian besar dari dirinya merasa kecewa dengan dirinya sendiri, tidak tahu mesti menyalahkan siapa selain dirinya sendiri. Benar, itu memang yang seharusnya dia lakukan, introspeksi diri. bermuhasabah, "apa yang salah dengan diriku? apa yang seharusnya ku perbuat?" tanyanya dalam hati. "Mengapa ia menjadi orang yang luar biasa di tempat lain, bukan di tempatku? mengapa orang lain bisa melihat potensi yang ia miliki, sementara saya tidak? mengapa ruang itu di berikan oleh orang lain, dan bukan saya?" semua pertanyaan yang memojokkan dirinya bertambah banyak, dan membuatnya semakin frustrasi dengan keadaan ini. Adi hanya berpikir "Haruskah saya menahanmu di sini sementara ada tempat yang mampu memberimu jauh lebih baik dari apa yang bisa ku berikan, haruskah ku bersikeras untuk menahanmu tetap ada di sini sementara ku tahu kau ingin pergi. Terlalu naif rasanya jika ku melakukan itu semua".
"Apa yang harus ku lakukan saat ini, haruskah sya menahanmu dengan segala keegoisan dan kenaifan yang ada pada diriku. Ataukah saya harus melepaskanmu tanpa upaya, tanpa daya layaknya lelaki pecundang yang tak memiliki apa-apa lagi" tambahnya dalam hati.

Rabu, 10 Oktober 2012

Dengan Apa atau Tanpa Apa?


Dengan apa kami merasa?
Jika kau paksa untuk menutup hati kami
Dengan apa kami melihat kebaikan mereka?
Jika kau paksa untuk mengalihkan mata kami
Dengan apa kami mendengar nasehat mereka?
Jika kau paksa menutup telinga kami

Dengan apa kami menjalin persaudaraan?
Dengan apa kami memberi penghargaan?
Dengan apa kami mempersembahkan penghormatan?
Jika kau paksa kami menutup diri dari mereka

Dosa apa yang mereka perbuat?
Kesalahan apa yang mereka lakukan?
Sehingga itu semua kami harus lakukan?

Dengan apa kami berbuat atau tanpa apa kami bertingkah?